"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Selasa, 21 September 2010

MALING KAPA

Perhelatan telah dimulai dengan khidmatnya. Tamu dari jauh dan dekat telah lengkap datang. Terutama para muridnya Sunan Ngerang, antara lain termasuk Sunan Kudus, Sunan Muria, Adipati Pathak Warak dari Mandalika Jepara, Kapa dan adiknya, Gentiri, dan lain-lainnya.
Sunan Ngerang (Kyai Ageng Ngerang) di Ngerang Juana, malam itu memang sedang melaksanakan hajat syukuran hari ulang tahun puterinya yang sulung bernama Roroyono. Genap ulang tahun kelahirannya yang kedua puluh.
Ketika Roroyono bersama adiknya, Roro Pujiwati ke luar menghidangkan minuman dan makanan, ada sepasang mata yang tak berkedip memandangnya. Debaran jantungnya Adipati Pathak Warak menggigilkan kedua bibirnya, melihat pesonanya Roroyono. Terasa ada sinar bulan warna perak yang menerangi resepsi malam itu. Tak lain adalah dari gadis yang menjadi pusat seluruh perhatian malam itu, yakni Roroyono.
Nafsu birahi yang tidak terkontrol hati yang bersih terkadang menyebabkan seseorang berbuat di luar batas. Bagi Adipati Pathak Warak yang tak biasa menahan nafsu, melihat gadis jelita menjadi gentayangan dan mabuk kepayang. Mata membelalak dan mulut nerocos tak ketulungan lagi, berkata tanpa aturan dan tak mengenal budi dalam sikapnya, terlanjur berbuat yang tidak sedap dipandang mata ketimuran maupun tatanan Agama.
Tentu saja bagi Roroyono yang langsung diperlakukan kelewat batas itu merasa terhina. Alangkah malunya dia dicolek-colek di hadapan banyak tamu-tamu terhormat. Minuman yang sedang dibawa di atas nampan itupun dijatuhkan karena hati yang menjerit diperlakukan tidak senonoh di mata para tamu. Dan percikan air yang tertumpah dari poci itu memerciki kakinya Adipati. Wajah yang berangasan itupun merah padam, merasa dibuat malu pula oleh Roroyono. Terlebih pula peristiwa tersebut menjadi tertawaan para tamu. Dalam hati Adipati berkata, seandainya bukan seorang gadis, lagi pula puterinya Kangjeng Sunan Ngerang, gurunya, tentulah telah terjadi baku hantam dengannya.
Malampun telah larut. Semua tamu dekat telah pulang. Dan para tamu jauh, termasuk Adipati Pathak Warak, masih berada di rumah Kangjeng Sunan. Semua telah tidur pulas. Kecuali Adipati yang masih memikirkan bagaimana agar bisa membuat malu Roroyono, sekaligus bisa melampiaskan nafsu angkaranya.
Maka gemparlah malam itu. Dewi Roroyono dicuri Adipati, dibawa lari ke Mandalika, Keling. Kangieng Sunan Ngerang lalu mengumumkan sayembara, barangsiapa yang dapat merebut kembali puterinya, Roroyono, dan dibawa kembali ke Ngerang, bila lelaki akan diperisterikan dengan Roroyono.
Setelah sayembara diumumkan, semua muridnya Sunan Ngerang tidak ada yang berani unjuk jari. Hanya Sunan Murialah yang mengacungkan tangannya, sanggup mengejar Adipati Pathak Warak dan merebut kembali Dewi Roroyono. Namun dalam perjalanannya ke Mandalika, di tengah jalan bertemu dengan Kapa dan adiknya, Gentiri. Dalam pembicaraan mereka bertiga, terjadilah ke sepakatan, bahwa Kapa dan Gentirilah yang menjalani sayembara merebut Roroyono ke Mandalika. Adapun bila nanti berhasil dalam tugas, yang memiliki Dewi Roroyono adalah Sunan Muria. Hal ini disepakati karena Kapa dan Gentiri adalah muridnya Sunan Ngerang yang termuda. Dan keduanya bersedia berbuat demikian karena menghormati Sunan Muria, sebagai murid yang senior, berwibawa dan terhormat dalam masyarakat.
Dalam memperebutkan Roroyono dari tangan Adipati Pathak Warak itu Kapa dan Gentiri mendapat bantuan dari seorang wiku di pulau Seprapat, Juana. Maka berhasillah Kapa dan Gentiri membawa kembali sang Dewi Roroyono ke Ngerang.
Untuk menghargai jasa Kapa dan Gentiri, meskipun Roroyono jadi diambil isteri oleh Sunan Muria, Kapa dan Gentiri diberi tanah Buntar, yang mana kedua orang itu menjadi penguasa tanah tersebut.
Namun dunia tidaklah berputar tenang. Terkadang digoncang gempa pula. Hatipun bergejolak, tak selurus anak panah, tetapi setiap saat berubah. Tentu saja perubahannya terkadang menyimpang dari pedoman.
Demikian pula hati Kapa dan Gentiri. Dahulu yang dengan relanya menyerahkan tenaganya demi menghormat kesenioran dan kewibawaan Sunan Muria, semua itu terlupakan. Yang memenuhi hati dan perasaannya sekarang hanyalah bahwa Dewi Roroyono itu mempunyai pesona yang mentakjubkan sehingga mengganggu tidurnya di setiap malam dan mengganggu kerjanya di setiap saat. Kapa dan Gentiri telah sepakat akan merebut Roroyono dari yang empunya, yakni Sunan Muria. Sudah barang tentu tindakan ini adalah suatu pengkhianatan janji yang tidak kepalang tanggung dan suatu kedurhakaan. Namun apa mau dikata bila nafsu jahat telah mengalahkan pertimbangan batin yang bening.
Gentirilah yang melaksanakan maksud jahat itu. Akibat tindakan yang gegabah itu membikin fatal baginya. Ia menemui ajalnya di padhepokan Muria oleh para murid yang sedang menjaga keamanan.
Mendengan kematian adiknya, Kapa terus berangkat ke Muria dengan tujuan yang sama seperti semula, mencuri pujaan hatinya, Dewi Roroyono. Dan kali ini berhasil. Roroyono dibawa lari ke pulau Siprapat. Tetapi di sana Kapa mendapat keputusan dari Sang Wiku Lodhang Datuk, bahwa perbuatan Kapa itu merupakan tindak kejahatan besar. Namun keputusan yang adil dan wiku Lodhang Datuk itu tidak diterima baik oleh Kapa. Bahkan Kapa mencaci maki Sang Wiku, yang gurunya sendiri.
Ketika itu telah sampai di pulau Siprapat pula salah seorang muridnya Sunan Muria. Tentu saja terjadi pergulatan antara kedua kesatria tersebut, dan matilah Kapa yang menjadi maling (pencuri) itu. Akhirnya Dewi Roroyono dapat dikembalikan ke Padhepokan Muria dengan selamat, berkumpul lagi dengan suaminya, Kangjeng Sunan Muria.
Demikianlah kisahnya KAPA yang menjadi MALING (pencuri), tetapi di dalam cerita rakyat nama Kapa itu terkenal dengan MALING KAPA (mencuri Kapa).
------------------------------
SUNAN MURIA Antara Fakta dan Legenda, Umar Hasyim, Penerbit “Menara Kudus” Kudus, 1983, halaman 75-77